Beredar di
sosial media tentang artikel yang di tulis oleh Sulardi seorang akademisi (Dosen Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Malang ). Lalu artikel itu beredar dalam bentuk scrinshoot
(ss) yang tersebar di sosial media dan menjadi perbincangan di kalangan
akademisi.
Melihat ss
bentuk artikel tersebut, tim dari teropong Sumut meminta keterangan kepada
salah seorang dosen PTM di Kota Medan Nurman Ginting (30) yang menshare tulisan
itu dalam bentu ss. Dia mengaku belum mendapat keterangan yang pasti dari pihak
penulis “saya belum dapat info dari pihak penulis, tapi saya sangat menyukai
tulisan itu”, jelasnya kepada Teropong Sumut.
Lanjut, tim
teropong sumut mendapat link tulisan lengkapnya dari google, yang di publish
oleh duta.co. inilah isi dari artikel yang tersebar itu, silahkan membaca
BEBERAPA hari
yang lalu, beredar di beberapa grup WhatsApp, Wakil Ketua DPR-RI Agus
Hermanto dikukuhkan sebagai Profesor kehormatan di
Universitas Negeri Semarang. Demikian halnya Menteri Hukum dan Ham Yasonna H
Laoly juga dikukuhkan Sebagai Guru Besar pada Sekolah Tinggi Ilmu
Kepolisian. Disusul rencana Undip Semarang mengkaji kemungkinan
memberi profesor kehormatan pada Mbak Puan Maharni putri Ibu
Megawati Soekarnopoetri, sungguh informasi ini membuat saya malu. Malu
berprofesi sebagai dosen. Mengapa saya malu? sebab professor itu kan jabatan
akademik tertinggi, Bagi kalangan akademis yang sehari harinya berkutat pada
pengajaran penelitian, pengabdian dan kegiatan lainnya yang menunjang profesi
sebagai akademisi, belum juga menyandang jabatan Profesor kehormatan,
maupun professor tanpa kehormatan.
Betapa tidak malu, sehari hari kegiatan saya
mengajar, melakukan penelitian, pengabdian sesekali menulis essay di media
massa, sesekali menulis di jurnal ilmiah, baik yang terkreditasi maupun jurnal
internasioan, dan sesekali juga menjadi pembicara di forum – forum ilmiah, dan
mengkritisi fenomena hukum terutama hukum ketatanegaraan di negara ini.
Hal ini telah saya lakukan hampir 30 tahun, dan hingga kini belum sampai ke
jenjang tertinggi jabatan akademi Guru Besar.
Saya malu, sebab Wakil Ketua DPR, Menteri itu
merupakan pejabat negara yang begitu syarat dengan pekerjaan yang berat,
mengurusi masalah masalah negara, ekonomi sosial, politik hukum, dan lain
sebagainya, boleh dikata tidak mengenal libur, tetapi mereka masih sempat
mengurusi persyaratan untuk menjadi guru besar, seperti yang dikatakan oleh
Menteri Ristekdikti : “Syaratnya sudah doktor, dia mengajar, publikasi riset
pada jurnal bereputasi. Kalau tidak pernah menulis karya ilmiah dan publikasi
tidak mjungkin menjadi guru besar. (detik.com
24 Juli 2019)
Betapa hebatnya, mereka yang mendapatkan gelar guru besar
itu, kinerjanya mampu melampuai dosen yang sehari harinya berkutat pada
persoalan Pendidikan pengajaran penelitian, pengabdian. Padahal kementrian
Ristekdikti siap membiayai penelitian yang dilakukan oleh dosen, sanggup
mengajari bagaimana menulis di jurnal terakreditasi maupun jurnal internasional
bereputasi, masih diberi insentif bila mampu menulis di jurnal
internasioanl teridex scoopus.
Betapa saya tidak malu, saat ditanya kolega
kapan guru besarnya?, saya selalu beralasan ada persyaratan yang kurang. Seolah
menjadi guru besar sangat sulit bagi saya, sedang mereka dengan ringannya
mengatakan, mosok mau jadi gurubesar syaratnya menjadi Menteri dulu, kan
tidak?” seloroh mereka.
Saya malu, sebab yang saya lakukan tidak
segera menulis di jurnal berupatasi dan terindex scoopus misalnya, saya malah
lebih asyik mengatakan bahwa scoopus itu berhala, scoopus itu hantu, yang
melahirkan makelar makelar scoopus dan lain sebagainya. Bahkan, sebagai dosen
saya tidak hanya malu tapi juga minder, bagaiamana tidak? Saya belum punya
penelitian yang dibiayai dikti di atas 100 juta, demikian halnya saya sebagai
doktor belum pernah menguji calon doktor di Program S3, sebagai salah satu
persyaratan untuk mendapatkan jabatan akademik professor.
Sesungguhnya, saya harus berpikir ratusan kali
bila ada hasrat mengajukan persyaratan jabatan akademik guru besar, ngeri juga
menndengar cerita kolega yang berani mengajukan kepangkatan guru besar yang
belum kelar kelar. Ada yang menceritakan, bahwa publikasi di jurnalnya tidak
diakui sebagai persyaratan dikarenakan degradasi terindexnya sudah turun,
bahkan ditanya tanya proses pengiriman artikel jurnal, direview berapa kali,
hal apa saja yang perlu direvisi hingga diterbitkan.
Bukan hanya itu saja, khusus bidang penelitian
harus dapat ditelusuri secara online, punya link website untuk membukanya.
Sebagai pembicara dalam forum ilmiah, seminar . symposium dan konfrensi atau
forum forum lainnya, tidak bisa diajukan sebagai point penilaian unsur B,
bila makalahnya tidak terpublikasi pada proceeding yang berISBN, plus
bersertifikat sebagai pemakalah. Padahal jaman sebelum millennial dulu, bukti surat undangan
dari panitia, makalah yang dipresentasikan, dan sertifikat pembicara difoto
kopi lanjut legaliser sudah mendapat nilai 10.
Oleh sebab itu, jangan heran bila setiap hari
beredar informasi diselenggarakannya seminar internasional maupun nasional
dalam format Call Papers
yang berbayar cukup mahal tetapi diminat oleh para dosen, sebab di acara itu
mereka bisa mendapatkan selembar sertifikat, publikasi proceeding yang berISBN, yang sangat
bermanfaat bagi kepangkatan para dosen. Bagi perkembangan ilmunya saya tidak
tahu, ada manfaatnya atau tidak. Yang jelas kegiatan seperti itu, pasti
menguntungkan panitia, dan juga peserta walau tidak secara financial.
Sungguh, saya malu, bila suatu saat nanti
jumlah guru besar justru lebih banyak berada di gedung dewan, dan
lebih banyak disandang oleh pimpinan partai politik, serta para Menteri,
dibanding jumlah professor yang ada di perguruan tinggi. Lebih malu lagi
sebagai dosen di perguruan tinggi yang dinilai tidak mempunyai leadership yang
bagus untuk memajukan kampusnya, sehingga menteri Ristek dikti merencanakan
mendatangkan rektor rektor dari mancanegara.
Betapa saya tidak malu sebagai dosen, dahulu
orang tua saya dipimpin oleh orang orang kolonial, kini saya sebagai dosen
dipimpin oleh orang asing. Malu kepada bangsa ini, tidak mampu mempertahankan
kemerdekaan, tidak mampu menjaga kemandirian bangsa di bidang akademik.
Bagaiamana tidak, untuk menjadi guru besar karya ilmiah saya harus diakui
pengelola Scopus, dan Scopus itu dikelola oleh asing,
kemudian menjadi dosen dipimpin oleh orang asing juga. Pantaslah saya malu
menjadi dosen di Indonesia.
*Penulis
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar