Negara ini disebut sebagai Negara agraris karena memiliki kekayaan alam, seperti lahan pertanian yang luas dan suburnya tanah yang mampu menghidupi seluruh masyarakat di Negara ini. Bahkan, Indonesia sempat menjadi eksportir padi terbesar di dunia pada masa kepemimpinan Almarhum presiden Soeharto. Namun belakangan ini, sampai sekarang ini kita masih miris melihat fakta agraris yang di bangga-banggakan sebelumnya. Bagaimana tidak, kita sempat mendengar impor padi, impor kedelai, dan impor jagung.
Semua itu tidak lain adalah karena tingkat Sumber Daya Manusia (SDM) belum mumpuni untuk serius dan fokus untuk memperbaiki kualitas pertanian kita. Terutama pada generasi muda kita yang selama ini lalai dengan kemewahan kota dan lupa untuk menjaga desa agar produktif dari sisi pertanian.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2013 terdapat 26.135.469 rumah tangga petani yang terdata dan mengalami penurunan dari tahun 2003 sebanyak 5 juta rumah tangga petani. Dapat diindikasikan bahwasannya pertanian hari ini sudah tidak menguntungkan lagi bagi petani. Selain sektor pertanian tidak menjanjikan dari segi pendapatan, secara status sosial masih dipandang rendah. Hal ini tampak dari generasi tua yang mulai enggan bertani begitu juga generasi muda yang mulai kehilangan gairah meneruskan usaha orang tuanya untuk menggarap lahan.
Indonesia bermimpi untuk menjadi pelumbung padi terbesar di dunia pada tahun 2024 nampaknya hal ini hanya mimpi belaka jika generasi muda tidak dilatih dan di berdayakan untuk membangun kekuatan pertanian. Bisa jadi, justru di tahun itu Indonesia bahkan mengalami keterpurukan berupa krisis pangan. Indonesia akan menjadi Negara pengimpor beras yang menggantungkan ketahanan pangan ke Negara lain.
Melihat data hasil survey LIPI hampir tidak ada anak petani yang ingin menjadi petani. Sekitar 4% pemuda usia 15-35 tahun berminat menjadi petani. Sisanya, sebagian besar tergiring industrialisasi. Lebih rumit lagi, Dari jumlah petani yang ada, sekitar 65% sudah berusia diatas 45 tahun. Artinya, jumlah petani yang berganti ke okupasi ke luar sektor pertanian lebih besar dibanding anak muda yang bersedia menekuni usaha pertanian.
Yang sangat di sayangkan adalah arah pembangunan yang di catat hanyalah pembangunan infrastruktur dan tidak fokus membangun sektor pertanian padahal sektor pangan sangat penting di suatu Negara yang besar berkontribusi. Semakin sedikit jumlah petani semakin efisien proses budidayanya. Menurut Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) perspektif seperti itulah yang menganggap hanya sektor industri yang bisa memajukan bangsa. Padahal dengan berkurangnya jumlah petani akan berimplikasi pada penurunan ketersediaan produk dalam negeri serta tergerusnya lapangan pekerjaan. Pasalnya, pertanian merupakan sektor yang berkontribusi menyediakan 40% lapangan pekerjaan.
Melihat keadaan ini, penulis sebagai mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara merekomendasikan kepada pemerintah, khususnya pemerintah sumatera utara (Sumut) agar fokus memperhatikan kondisi pangan kita di sumut ini. inflasi yang tercatat, membuktikan bahwa provinsi agararis ini gagal dalam sektor pertanian. Solusinya adalah perdayaakan pemuda kearah perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Penulis adalah Mahasiswa UMSU Prodi Agribisnis dan Pemerhati Agraris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar