Belakangan ini, neraca perdagangan Indonesia mengalami penurunan, dari 5,56
persen ke 5,17 persen. Tiga tahun terahir ini melambatnya putaran ekonomi
gelobal dikarenakan gesekan perang dagang antara Amerika Serikat vs China dan Negara
lainnya, membuat permintaan ekspor-impor menurun dari mitra dagang Indonesia.
Akan tetapi, di lain komoditas, ada pula kenaikan di waktu yang sama, seperti sektor
pertanian, kehutanan dan perikanan secara umum malah naik dari 3.85 persen
menjadi 3.91%. Pada periode tersebut PDB sektor pertanian, kehutanan dan
perikan telah naik 25% dari Rp 1039 triliun ke 1307 triliun yang merefleksikan
peningkatan produksi sektor ini.
Peningkatan terbesar pada 1 tahun terakhir terjadi pada tanaman
hortikultura (6.99%) dan perikanan (5,2%) yang bahkan melampaui pertumbuhan PDB
nasional (5.17%). Peningkatan PDB ini mencerminkan peningkatkan produksi dan
nilai tambah yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. PDB pertanian
terbesar disumbang oleh tanaman perkebunan (3,30%) dan tanaman pangan (3,03%).
Hal ini dapat dipahami mengingat tanaman perkebunan merupakan andalan ekspor
sedangkan besarnya PDB tanaman pangan didorong oleh kebutuhan konsumsi domestik
yang juga sangat besar.
pada 2017 ekspor pertanian
melonjak menjadi Rp. 475,9 triliun dan pada 2018 mencapai Rp. 499,3 triliun.
Alhasil, nilai ekspor sejak 2015 hingga 2018 mencapai Rp1.764 triliun atau
terjadi peningkatan sebesar 29,7%. Memang ada beberapa yang turun untuk impor
komoditas di Negara ini, seperti beras pada tahun 2014 kita sempat impor dan
sekarang sudah tidak lagi, lalu jagung, bawang merah menurun sampai 100 persen
dari tahun 2014-2018.
Data diatas penulis ambil dari kolom
Harian Republika yang ditulis oleh Darmawan Setyobudi (Kepala
Sub bagian Analisis Data Biro Perencanaan, Sekretariat Jenderal Kementerian
Pertanian).
Dan juga
penulis ambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) nasional. Pembahasan diatas
datanya itu sekala nasional. lalu bagaimana dengan kondisi pertanian untuk Sumatera
Uatara?
Jika para pembaca
melihat BPS, tentu volume ekspor kita menurun di sektor pertanian, kita sumut
ini masih minim tenaga ahli di bidang pertanian. Bisa kita buktikan dari
beberapa bulan yang lalu, data dari Pusat Informasi Harga Pangan strategis
(PIHPS) untuk harga cabai merah melambung tinggi sampai 100.000/kg nya, dan
begitu juga dengan harga cabai rawit. Dan harga tersebut mulai meranjak turun
sampai sekarang dan sekarang di harga 60.000/kg untuk cabai merah dan cabai
rawit di harga 50.000-an/kg.
Dampak dari kenaikan
harga hortikultura tersebut membuat data inflasi meningkat, data dari pengamat
ekonomi sumut Gunawan Benjamin mencatat inflasi Sumut berada pada angka 5.87
persen, dan angka tersebut melampaui inflasi nasional. Nah, berbeda dengan
fakta nasional, fakta nasional menunjukkan angka ekspor dan pertumbuhan
pertanian meningkat. Sedangkan di Sumut inflasi yang meningkat dan kinerja
ekspor sumut dari tahun 2018-2019 mengalami penurunan yang derastis. Penurunan
kinerja ekspor sumut itu adalah dari komoditas sawit kita. Harga sawit anjlok,
inflasi meningkat, Pendapatan Asli Daerah menyendat dan banyak lain sebagainya.
Jika banyak yang
perotes dan kritikan dari kalangan aktivis, pengamat dan para pengusaha di
Sumut ini kepada pemerintah, penulis lebih mengedepankan solusi, yaitu
solusinya dari meningkatkan produktivitas pertanian kita. Mungkin bawang Merah,
cabai merah, cabai rawit, sayur-sayur atau Sembilan bahan pokok, terdengar
biasa dan “tidak level” di telinga para elit. Apakah elit politik, elit apapun
itu, yang pastinya Sembilan bahan pokok ini menurut penulis mampu menyelamatkan
kondisi terpuruknya ekonomi Sumut.
Walaupun ada yang
mengatakan bahwa berat untuk memberikan pembenahan perekonomian di sumut,
penulis masih bisa memberikan solusinya. Pertama, biasakan mulai dari sekarang
berdikari (berdiri di kaki sendiri) adalah konsep Alm, soekarno presiden
pertama Indonesia. Bagaimanakah berdikari itu? Ya tentu dengan mandiri apakah
dengan bercocok tanam, dan memperdayakan lahan kosong yang ada.
Jika hidup kita susah,
namun ada yang bisa kita petik dari hasil yang kita tanam, tentu kita bisa
bertahan hidup dan bisa menjaga kondisi gizi kita. Cukup kita dengan menanam
sayur, pelihara ikan, ternak ayam, sapid an kambing, kita bisa menikmatinya.
Ingat, Negara kita tertekan dollar, bukan karena kita bertahan hidup, tetapi
karena gaya hidup yang konsumtif.
Penulis Dosen Pertanian Agribisnis Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar