Pertanian Dan Pertumbuhan Ekonomi Oleh: Ira Apriyanti - Teropong SUMUT

Breaking

Teropong SUMUT

Informasi Fakta Terpercaya & Independen

BANNER 728X90

17 Agustus 2019

Pertanian Dan Pertumbuhan Ekonomi Oleh: Ira Apriyanti


Belakangan ini, neraca perdagangan Indonesia mengalami penurunan, dari 5,56 persen ke 5,17 persen. Tiga tahun terahir ini melambatnya putaran ekonomi gelobal dikarenakan gesekan perang dagang antara Amerika Serikat vs China dan Negara lainnya, membuat permintaan ekspor-impor menurun dari mitra dagang Indonesia. Akan tetapi, di lain komoditas, ada pula kenaikan di waktu yang sama, seperti sektor pertanian, kehutanan dan perikanan secara umum malah naik dari 3.85 persen menjadi 3.91%. Pada periode tersebut PDB sektor pertanian, kehutanan dan perikan telah naik 25% dari Rp 1039 triliun ke 1307 triliun yang merefleksikan peningkatan produksi sektor ini. 

Peningkatan terbesar pada 1 tahun terakhir terjadi pada tanaman hortikultura (6.99%) dan perikanan (5,2%) yang bahkan melampaui pertumbuhan PDB nasional (5.17%). Peningkatan PDB ini mencerminkan peningkatkan produksi dan nilai tambah yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. PDB pertanian terbesar disumbang oleh tanaman perkebunan (3,30%) dan tanaman pangan (3,03%). Hal ini dapat dipahami mengingat tanaman perkebunan merupakan andalan ekspor sedangkan besarnya PDB tanaman pangan didorong oleh kebutuhan konsumsi domestik yang juga sangat besar. 

 pada 2017 ekspor pertanian melonjak menjadi Rp. 475,9 triliun dan pada 2018 mencapai Rp. 499,3 triliun. Alhasil, nilai ekspor sejak 2015 hingga 2018 mencapai Rp1.764 triliun atau terjadi peningkatan sebesar 29,7%. Memang ada beberapa yang turun untuk impor komoditas di Negara ini, seperti beras pada tahun 2014 kita sempat impor dan sekarang sudah tidak lagi, lalu jagung, bawang merah menurun sampai 100 persen dari tahun 2014-2018.

Data diatas penulis ambil dari kolom Harian Republika yang ditulis oleh Darmawan Setyobudi (Kepala Sub bagian Analisis Data Biro Perencanaan, Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian). Dan juga penulis ambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) nasional. Pembahasan diatas datanya itu sekala nasional. lalu bagaimana dengan kondisi pertanian untuk Sumatera Uatara?

            Jika para pembaca melihat BPS, tentu volume ekspor kita menurun di sektor pertanian, kita sumut ini masih minim tenaga ahli di bidang pertanian. Bisa kita buktikan dari beberapa bulan yang lalu, data dari Pusat Informasi Harga Pangan strategis (PIHPS) untuk harga cabai merah melambung tinggi sampai 100.000/kg nya, dan begitu juga dengan harga cabai rawit. Dan harga tersebut mulai meranjak turun sampai sekarang dan sekarang di harga 60.000/kg untuk cabai merah dan cabai rawit di harga 50.000-an/kg.

            Dampak dari kenaikan harga hortikultura tersebut membuat data inflasi meningkat, data dari pengamat ekonomi sumut Gunawan Benjamin mencatat inflasi Sumut berada pada angka 5.87 persen, dan angka tersebut melampaui inflasi nasional. Nah, berbeda dengan fakta nasional, fakta nasional menunjukkan angka ekspor dan pertumbuhan pertanian meningkat. Sedangkan di Sumut inflasi yang meningkat dan kinerja ekspor sumut dari tahun 2018-2019 mengalami penurunan yang derastis. Penurunan kinerja ekspor sumut itu adalah dari komoditas sawit kita. Harga sawit anjlok, inflasi meningkat, Pendapatan Asli Daerah menyendat dan banyak lain sebagainya.

            Jika banyak yang perotes dan kritikan dari kalangan aktivis, pengamat dan para pengusaha di Sumut ini kepada pemerintah, penulis lebih mengedepankan solusi, yaitu solusinya dari meningkatkan produktivitas pertanian kita. Mungkin bawang Merah, cabai merah, cabai rawit, sayur-sayur atau Sembilan bahan pokok, terdengar biasa dan “tidak level” di telinga para elit. Apakah elit politik, elit apapun itu, yang pastinya Sembilan bahan pokok ini menurut penulis mampu menyelamatkan kondisi terpuruknya ekonomi Sumut.

            Walaupun ada yang mengatakan bahwa berat untuk memberikan pembenahan perekonomian di sumut, penulis masih bisa memberikan solusinya. Pertama, biasakan mulai dari sekarang berdikari (berdiri di kaki sendiri) adalah konsep Alm, soekarno presiden pertama Indonesia. Bagaimanakah berdikari itu? Ya tentu dengan mandiri apakah dengan bercocok tanam, dan memperdayakan lahan kosong yang ada. 

            Jika hidup kita susah, namun ada yang bisa kita petik dari hasil yang kita tanam, tentu kita bisa bertahan hidup dan bisa menjaga kondisi gizi kita. Cukup kita dengan menanam sayur, pelihara ikan, ternak ayam, sapid an kambing, kita bisa menikmatinya. Ingat, Negara kita tertekan dollar, bukan karena kita bertahan hidup, tetapi karena gaya hidup yang konsumtif.
Penulis Dosen Pertanian Agribisnis Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejak April 2019 | Teropong SUMUT