Bukan tidak adanya pangan, bukan tidak adanya lahan. Apalagi Sumber Daya Manusia (SDM) kita sangat banyak. Dan terbukti Negara kita masih membutuhkan impor pangan, komoditas dan hortikultura. Hal ini dapat di buktikan melalui sumber data Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat data diluar data kehutanan dan perikanan. Pada semester I tahun 2019 data pertanian menghasilkan sebesar 3,41 persen pada semester I-2019.
Data tersebut lebih rendah disbanding pada data semester I-2018 yang tumbuh 3,88 persen. Data ini sudah termasuk ke dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Dan data yang paling terendah adalah pada tahun 2017 di semester II. Mengingatkan kepada pembaca harian ini, bahwa yang tergabung dalam PDB adalah tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, jasa pertanian dan buruh, baik lepas maupun terikat.
Menyinggung tentang pangan, untuk sektor tanaman pangan, pertumbuhan PDB pada semester I-2019 mencatat data tersebut negative atau terkontraksi dengan angka 0,42 persen. Padahal panen raya pada semester I di bulan April dan Juni yang juga dapat di manfaatkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi kita.
Penulis memilih judul diatas berdasarkan perhatian penulis kepada kondisi pangan kita. Perlu di ingat Tanaman pangan sangat penting kita perhatikan, karena tanaman pangan memiliki kontribusi penyumbang PDB sebesar kurang lebih 30 persen dari total keseluruhan. Dan jika terjadi hambatan yang terus menerus maka seluruh sektor pertanian akan terkotraksi dengan gangguan pangan tersebut.
Jika kita melihat kebelakang fenomena pertumbuhan ekonomi kita, kita ambil saja dari tahun 2013 khusus untuk pertumbuhan di sektor pertanian, masih saja berada pada tren perlambatan. Dan ironisnya lagi, PDB pertanian, belum pernah mengungguli dari total pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Maksudnya, yaitu pertumbuhan ekonomi pada sektor lain masih lebih tinggi di banding dengan pertumbuhan di sektor pertanian. Harusnya, jika berbicara pertumbuhan ekonomi, sektor pertanian lah yang menjadi terunggul di banding dengan sektor lainnya. Dengan demikian, kita bisa mengukur kesehatan kondisi pangan kita.
Membaca catatan dari luar negeri, kondisi pangan kita dari tahun 1960 negara kita terus melakukan aktivitas impor beras. Pada tahun 2018, kita mengimpor beras dan angkanya sangat luar biasa, diluar batas yaitu lebih dari 2 juta ton. Dan pada bulan Januari-Juni 2019 Bps mencatat impor beras kita telah mencapai 203 ribu ton. Memang angka impor itu masih tergolong kecil di banding catatan produksi kita dari Kementerian pertanian yang mencatat produksi beras kita mencapai 83 juta ton di periode 2018. Namun, tetap saja masih dapat cela untuk membuka keran impor, walau sedikit namun menganggu rupiah kita juga.
Melihat publikasi FAO Rice Market untuk perbandingan data, pada april 2018 publikasi produksi di Asia, Indonesia khususnya pada tahun 2018 produksi panen padi lebih tinggi di bandi pada tahun 2017, selisih di angka 72 ton Gabah Kering Giling. Banyak persoalan yang harus di selesaikan terkait sektor pertanian di bidang pangan.
Oleh karena itu, penulis yang mewakili keinginan masyarakat kepada pemerintah memperhatiakan kembali kondisi pangan kita. Terutama di bagian subsisdi pertanian. Langkahnya pertama adalah kementrian pertanian, bersinergi dengan kementerian perdaganagan, kementerian perikanan dan kelautan dan menteri luar negeri yang mampu melayangakan apa yang di butuhkan Negara ini kepada internasional agar kita tidak terjebak dalam kebijakan pangan dunia.
Penulis dosen Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar